Jakarta - Husen Munir hanya bisa menatap kesal ketika sampah-sampah rumah tangga mengambang di sekitar pantai Pulau Bidadari. Warna air laut di sekitar pantai pun berwarna kecoklatan. Alhasil Pulau Biadadari jadi tidak seindah namanya akibat sampah.
"Kemarin padahal airnya masih bersih dan berwarna biru. Sekarang giliran para pelancong datang kondisinya seperti ini. Saya jadi nggak enak sama tamu," keluh Husen Munir, Manajer Pulau Bidadari kepada detikcom, Senin (15/3/2010).
Husen mengaku tidak bisa berbuat banyak, sebab sampah-sampah tersebut berasal dari 13 muara sungai yang ada di Jakarta. Kalau Jakarta habis diguyur hujan atau banjir, maka air berwarna kecoklatan dan sampah rumah tangga akan mampir ke pulau yang hanya berjarak 7 mil dari daratan Jakarta tersebut.
Limbah dan sampah itu bukan hanya menyerang Pulau Bidadari. Pulau Untung Jawa, Pulau Ayer, Pulau Onrust, Pulau Kelor, Pulau Cipir dan Pulau Damar yang berada di ujung paling timur Teluk Jakarta, juga mendapat kiriman sampah dan limbah.
Menurut Bupati Kepulauan Seribu, Burhanuddin, dalam sehari minimal 768 meter kubik sampah mampir ke Teluk Jakarta. Sebanyak 54 persen adalah sampah plastik, 24 persen kayu, 14 persen tumbuhan, sisanya gelas, karet atau sterofoam.
"Yang jadi masalah adalah sampah yang masuk ke Teluk Jakarta berasal dari sampah plastik yang tidak bisa diuraikan secara alamiah, " jelas Burhanuddin saat mengunjungi Gathering Media di Pulau Bidadari, beberapa waktu lalu.
Namun, kata Burhanuddin, pihaknya merasa kesulitan mengatasi masalah tersebut. Alasannya, sampah-sampah itu datang dari sungai-sungai di Jakarta. Pemkab Kepulauan Seribu tidak punya dana untuk menangani serbuan sampah tersebut. Akibatnya perairan menuju Pulau Seribu dipenuhi sampah. Sampah itu juga terlihat di sejumlah pulau yang dijadikan obyek wisata.
"Saya melihat sekeliling pulau penuh dengan sampah. Bagaimana kita mau berenang kalau pantainya dipenuhi sampah. Para wisatawan sangat terganggu dengan kondisi itu, " ujar Lita Mamonto, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kepada detikcom.
Parahnya lagi, limbah B3 yang berbahaya termasuk minyak, ikut mencemari Pulau Seribu. Tumpahan minyak ini berasal dari kapal-kapal nelayan atau angkutan penumpang dan kapal tanker minyak. Bahkan ternyata ada pula penambangan minyak di salah satu pulau di wilayah tersebut. Pencemaran bahan berbahaya seolah tidak pernah berhenti di Pulau Seribu.
"Harusnya ini menjadi perhatian pemerintah dari hulu ke hilir. Sebab pencemaran ini sangat menganggangu lingkungan dan daerah wisata," tegas Lita.
Pernyataan serupa juga dikatakan Slamet Daryoni dari Institut Hijau. Menurutnya, ketidakpedulian pemerintah terhadap pencemaran lingkungan membuat banyak kerugian. Masyarakat akan kesulitan mencari ikan karena lautnya tercemar. Hutan bakau juga tidak bisa tumbuh padahal perannya penting untuk mencegah abrasi.
"Menurut keterangan sejumlah warga yang kami datangi, mangrove tidak bisa tumbuh karena airnya tercemar. Padahal mangrove itu sangat penting untuk menghindari pulau dari bahaya abrasi," tutur Daryoni.
Daryoni meminta pemerintah secara tegas menindak di tempat, kapal-kapal yang membuang bahan bakarnya di perairan. Selain itu pemerintah juga harus mengawasi kegiatan pertambangan migas di kepulauan tersebut.
Daryoni mencontohkan kasus tumpahan minyak beberapa tahun lalu di Pulau Pabelokan. Diduga kebocoran itu berasal dari pertambangan migas PT China National Offshore Oil Corporation (CNOOC-SES).
"Sayangnya kasus tersebut sudah di-SP3 pada 2006. Tanpa diketahui dari mana asal tumpahan minyak tersebut. Kalau memang di-SP3 harusnya dijelaskan tumpahan minyak itu berasal dari mana?" ujarnya. (ddg/fay)
Sumber : Detik.Com
0 komentar:
Posting Komentar