Pelukis dan Gadisnya (II)
Di meja tua dari kayu laban yang lebam tersulut putung rokok kakek, dari pohon laban yang dulu di tanam nenek; kutanggal lepaskan keinginan dan jarak; tentang kota-kota dan cinta.
Oh, aku masih terngiang rayu malam itu diantara lampu kota Jakarta dan stasiun kereta, dan tetap tak kumengerti cinta.
Pada kilatan senja yang menempel di pipimu, sendu di dua matamu menggambarkan ribuan masa lalu—betapa purbanya waktu untuk di ziarahi di ujung malammu.
Kanvas pada tiap garis sunyi di punggungmu menjelmakan landai lautan seperti ia serupa lembah di ujung kematian yang membunyikan melodi lagu para dewi surgawi; dan tanganku hanya kaku ditali temali sunyi.
Di meja tua dari kayu laban kemenyan dan tembakau mengerdip padaku, asbak dari tanah liat, segelas kopi hanya kelam dingin yang tadi; kini biar tanganku melaju turuti tiap detak alunan hati dalam sesali sejarak yang pergi; detik-detik memburuku, ngilu yang layu di pupus harapan paling syahdu tentang rindu.
Pada jam dimana rembulan hanya bayangan; kematian seperti dihdapan makin memburu laju ngilu tanganku melukis senja di atas punggungmu; kuletakkan perahu kecil di tepi pantai di bawah lekukan lehermu; pada dagumu burung dari kertas berisi surat cintaku, dan kuda putih di dinding malammu kupacu dengan terpaan angin dari nafas dan tangismu yang tertahan,”Aku mencintaimu sayang….” Katamu.
#Sepotong Senja Untuk Pacarku
Pada ketika senja aku selalu merinduimu, selalu lebih dalam dari rindu diwaktu yang lain ketika makin redup hampa senantiasa kutanya pada semua yang enggan bicara di mana ia berada adakah tengah terluka di tepi senja yang biasa? Semoga kau bahagia sebab kebahagiaan adalah doa yang indah seindah lamunanku padamu seperti senantiasa.”Mungkin aku tidak datang pada senja yang sekarang,” Pesanmu.
Ombak melaju lebih kencang seperti mau melahapku dan tidak apa aku tetap menunggu aku tahu jika kau dengar rinduku kau memintaku agar melupakan agar kau dilupakan mungkin memang kau tidak akan datang; entah dikajauhan jarak tempat yang mana atau sebuah loteng kecil menyembunyikanmu dariku seperti kukira bahwa kau sendiri melihatku menunggu dan ketika senja rinduku selalu menjadi tambah pilu.
Kau pasti tahu setiap senja aku ingin kau tiba lalu duduk dekatku saling memberitahu “kita tidak akan bersama” terdengar sunyi diliputi pedih dan peri selama senja menunggu selalu rindu hampir sama menjadi setiap haru dan pilu saat datang hanya memberi tahu “kita tidak akan bersama” O kekasihku alangkah tidak masuk akalnya cinta??
Lalu pada segelas kopiku kulihat bayangan orang gila dengan luka hati yang nganga tapi ia menari-nari selalu makin tidak tentu pada air muka jiwa apa ia sedang terluka? Bagaimana mungkin ia gila sedang ia kandung dimana-mana kenangan pada dadanya ua tak pernah lupa senantiasa menulis sejak cinta diatas angin keemasan bergaun senja yang biasa; betapa hampanya?
Pada senja begini aku selalu rindu selalu lebih dalam dari rindu yang biasanya lalu kutulis apa saja hanya agar tak menjadi gila seperti seorang lelaki tua dalam segelas kopiku.
Kau memang tidak akan datang kekasihku? Senja hampir penghabisan aku kesepian datang lah menjelang kematian.
# Kehampaan
Air di telaga jiwamu mengerling tertimpa ingatan pada pandangan matamu ketika itu, sewaktu kau pertama kali menatap pada kekasihmu dan sejak itu kau menemukan kehampaan itu terisi riuh yang menggelombang, menerjang karang hatimu yang kau bekukan sendiri bertahun-tahun, dan kini telaga dalam jiwamu menggelombang dalam kegelisahan paling absurd yang pernah kau dapati; asmara yang maha hampa.
Nyanyian yang kau dendangkan dalam tari-tarian yang diam ketika kau menunggunya makin menggumpalkan air matamu sendiri dalam sembab paling perih yang bisa kau tahan. Kau hendak bertanya darimana kehampaan itu dihadirkan dalam hatimu? Sewaktu siang hari dan kau melihat dari jendela cahaya terang benderang seolah cahaya itu tak ada artinya lagi. O, pada cahaya yang mana yang kau cari? Sewaktu kau melihat keluar melalui jendela dan kau dapati dunia di luar sana terdiam saja. Kau ingin bicara dengan siapa?
Kekasihmu begitu dekat denganmu, kau tahu ia tengah lelap tertidur dalam hatimu dengan bantal kerinduan yang kau semaikan, bibirnya yang mungil tak kurang jelita dari lukisan perahu di telaga Norwegia dengan ketenangan angin dan sungai-sungainya yang membelah langit agar turun merayu; pun tak seindah dengan segaris sunyi paling mistik diantara nganga dan dingin sepasang bibirmu malam itu waktu alam berhenti sejenak untuk menjadi saksi betapa kau merindukannnya, dan terasing.
#Nihil
Hanya deretan tanggal dan hari Kota-kota dan waktu yang sunyi Pada segelas kopiku kelam asap rokok mengepulkan sia-sia sepotong puisi seperti benda mati
Lautan hanya kekosongan Senja seperti lelucon Malam habis seperti kilatan dendam Hidup tak lebih lengang dari dongengan.
Ombak yang menderau Patah oleh karang yang kaku Memecahnya menjadi buih, hilang ditepi
Yang luka hati di malam tak bertuan, Hatinya bimbang terkenang, Apa selalu demikian?
*Sabiq Carebesth: lahir pada 10 Agustus 1985. Pecinta buku dan kesenian. Kini tinggal dan bekerja di Jakarta. Aktif pada LSKI (Lingkar Studi Kebudayaan Indonesia). Buku Kumpulan puisinya “Nyanyian Burung Kertas” akan segera diterbitakan ( Agustus, 2011).
Sumber : Kompas
0 komentar:
Posting Komentar